Statistika: Memenangkan Prabowo, Menenangkan Anies

Nikano Utomo
2 min readFeb 12, 2024

--

Selamat bapak Prabowo dan mas Gibran. Berbuat baiklah. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

***

Bekerja untuk lembaga riset dan publik, sangatlah menyenangkan. Kira-kira begitu yang saya rasakan circa 2018.

Kita mesti mengaburkan prasangka di hadapan orang-orang yang mesti kita wawancara , apapun latarnya—buruh, tani, pedagang, dan siapapun itu. Etika yang menjadi landasan moral, saya taruh setinggi-tingginya di dalam kepala: profesional-is-me.

Saya tidak peduli seberapa panjang dan jauh sampel (re: desa) yang mesti saya kunjungi. Atas nama etika, saya lalui dengan bangganya. Hutan saya trabas, sawah saya arungi, sungai saya lewati.

Dan ternyata: jauh betul. Brengsek!

Letaknya di ujung kabupaten Boyolali dan satunya di ujung kabupaten Sukoharjo. Saya dan tim bertemu orang-orang yang nyaris tidak tersentuh oleh peradaban — jauh dari pusat kota, pasar modern, apalagi supermarket. Kampungnya di kepung sawah, sungai, dan pohon besar. Terbesit di dalam kepala: apakah orang-orang ini (benar-benar) dipedulikan?

Seperti orang desa pada umumnya: mereka ramah. Sesekali memberi kami kopi, kadang teh. Camilan yang mereka punya dikeluarkan semua.

“Matur suwun,” kata saya. Saya tersenyum. Framing saya yang sedikit urakan runtuh seketika, menjadi mas-mas Jawa yang ahli tata krama. Saya membuka obrolan tentang kegiatan sehari-hari, tidak lebih. Tidak juga privasi.

Saya mengulik dari hal-hal dasar sampai tingkat palung terdalam. Tanpa mengurangi rasa hormat, semua saya tulis seperti apa yang ada di lapangan.

20–30 menit berlalu. Kami selesai mengambil sampel. Apa yang kami temui, adalah apa yang harus kami laporkan. Suka-tidak-suka. Apapun jawabannya.

1 bulan berlalu. Saya bisa menebak dengan akurasi tinggi, siapa pemenang Pemilihan Presiden 2019 dengan angka statistik. Presisi.

***

Proporsi

Di luar isu bahwa adanya kecurangan pemilu tahun 2019, tapi sebetulnya, seberapa pengaruhnya proporsi suara itu mengubah hasil akhir? Tidak besar.

Presiden Jokowi memiliki basis yang kuat daerah perkampungan pinggiran di Jawa. Orang-orang di pinggiran lebih hafal nama, melebihi menghafal nama-nama beras dan pupuk. Orang-orang tidak peduli atas kinerja buruk pra-2019, atau bahkan prestasinya.

Namanya lebih menempel di kepala, daripada apapun. Apapun! “Bapak Jokowi.” Jawab mereka. Dengan senyum. Dengan sopan. Seolah-olah, beliau adalah representasi atas nama wong-wong pinggir.

Bapak Prabowo yang sudah berkampanye sejak tahun 2009, bisa kalah. Dan data menunjukkan memang akan kalah lagi — saat itu. Gila. Data yang saya pegang membuat tidak percaya. Tokoh politik satu ini tidak pernah tertandingi sama sekali. Unbeaten.

***

Menikmati Pertandingan

Tahun 2023–2024, saya tidak ingin mengambil bagian dari riset atau bekerja untuk publik. Di twitter, saya memilih melakukan mute kata yang membuat potensi linimasa beriak dari Anies, Prabowo, dan Ganjar.

Saya lebih sibuk menikmati sepakbola atau hal-hal yang membuat bahagia. Menikmati konser dan musik terkini. Sesekali melihat berita. Sesekali membaca data. Sesekali bersepada di tengah sawah dan menikmati sungai-sungai.

Menjaga kewarasan kepala lebih penting daripada apapun.

Di ujung jalan. Di ujung perbatasan. Berjalan-jalan membuat lebih tenang daripada perdebatan-perdebatan di dunia maya — yang ruang lingkupnya hanya rempahan dari proporsi lingkaran pizza.

Sudah tergambar jelas, siapa pemenangnya. Di lapangan.

--

--