Ilusi optik: bagaimana uang bekerja?

Nikano Utomo
2 min readOct 1, 2020

--

Ia hanya selembar kertas. Namun, selembar kertas ini yang kelak kita dapatkan mati-matian. Bekerja siang dan malam, pagi hingga sore, hanya demi mendapatkan lembaran kertas. Bagaimana bisa kita menukar keringat dan jerih payah hanya demi selembar kertas yang omong kosong itu?

Dalam kacamata sejarah, Harari dalam buku Sapiens pernah menyinggung ini sebelumnya. Katanya suatu kali: “uang bukanlah realitas material, melainkan sebuah konstruk psikologis. Ia bekerja dengan mengubah materi menjadi pikiran.”

Uang yang membuat kita rela menukar otot dan otak. Uang yang membuat kita rela menukar lembaran-lembaran kertas hasil jerih payah kita, dengan entengnya ditukar dengan baju atau sepatu — bahkan lembaran kertas itu bisa membeli mobil yang begitu besarnya dan nyata di depan mata. Betul, meski ia hanya kertas belaka.

Lantas bagaimana ini bisa terjadi? Semua bermula dari satu hal: kepercayaan.

***

Saya percaya kertas itu bernilai 100 ribu. Anda percaya kertas itu juga bernilai 100 ribu. Negara juga percaya bahwa kertas itu bernilai 100 ribu. Masyarakat percaya.

Semua percaya bahwa satu lembar kertas memiliki nilai yang setara dengan 10 kilogram beras. Meski dalam kesadaran kita tahu, bahwa ia hanya kertas berwarna. Dan betul kata Harari, “uang bukanlah realitas material, melainkan sebuah konstruk psikologis.”

Uang yang membuat kita rela bekerja. Uang yang membuat kita lupa waktu dan makan. Uang yang membuat kita berselisih terhadap kawan. Tapi, uang pula yang membuat kita memiliki sepatu yang bagus, ponsel yang canggih, atau rumah yang mewah.

Uang yang membuat kita tampak sinis karena orang lain lebih kaya dari kita. Uang yang membuat kita tampak arogan karena lebih merasa mampu dari orang lain. Meski uang itu, berkali-kali saya katakan: ia hanya kertas.

Dan perputaran-perputaran itu [terus dan selalu] terjadi.

Warung-warung yang kita beli dagangannya menjadi makmur dan mendapatkan profit yang cukup. Perusahaan-perusahaan menjadi tetap berdiri dan berkelanjutan untuk menggaji karyawan dan menciptakan produk yang sama lagi untuk dipasarkan. Satu produk itu nanti pula, yang akan kita beli dari warung-warung yang bisa kita beli. Kita mendapatkan apa yang kita mau, warung mendapatkan apa yang dia mau.

Bahkan, jika kita teliti lebih panjang. Uang dari profitabilitas perusahaan itu kelak yang akan kembali kepada kita dalam bentuk perbaikan jalan-jalan, reparasi lampu lalu lintas yang membuat kita terhindar dari kecelakaan, atau pembuatan sekolah-sekolah baru bagi daerah tertinggal — yang kelak, oleh negara disebut sebagai “pajak”.

Dan ingat, itu dari uang kita — meski tidak secara langsung.

Bukankah perputaran sederhana ini merupakan keajaiban ekonomi? Dan memang inilah suatu keajaiban dari umat manusia: hanya dari hasil modal percaya dan ilusi psikologis, selembar kertas mampu ditukar dengan apa saja. Dan kita bahagia atas itu.

Dan akhirnya, tulisan ini akan ditutup dengan kutipan dari Albert Camus:

“Salah satu jenis keangkuhan spiritual adalah saat orang berpikir bahwa mereka bisa bahagia tanpa uang.”

--

--