Eliminasi pada sistem kerja otak: Studi singkat dari Deep Blue, Toyota, dan Eisenhower

Kenapa kita seringkali terjebak, melakukan hal-hal yang tidak penting?

Nikano Utomo
3 min readJun 18, 2024

Prolog I: Belajar dari machine learning

New York, 11 Mei 1997. Menjadi pertandingan catur paling bersejarah bagi umat manusia. Ia bernama Kasparov. Ia juara dunia yang tidak pernah bisa dikalahkan. Sepanjang kariernya. Sepanjang hidupnya.

Untuk hari ini, sejarah tercipta: Kasparov kalah. Sejarah kedua: Ambisi IBM mengalahkan kecerdasan manusia, tuntas sudah. Deep Blue, notabene adalah kecerdasan buatan, sekarang menjadi juara dunia catur — yang tak tertandingi.

Deep Blue mampu membaca jutaan hipotesa, prediksi, dan langkah. Di-setting untuk belajar atas dirinya sendiri dan melakukan evaluasi atas kesalahan-kesalahan yang sudah pernah dilakukan. Berulang-ulang dan terus berulang.

Sintesisnya, Deep Blue mampu mengeliminasi prediksi yang tidak perlu. Siklusnya berulang. Akhirnya, machine learning akan menciptakan keputusan versi terbaiknya.

Apakah manusia mampu menandingi semuanya? Tidak.

Prolog II: Belajar dari Toyota

Tahun 1910-an, pembuatan model mobil Ford masih menggunakan sistem assembly line. Sistem ini mengharuskan proses secara continuous flow dari hulu sampai hilir. Kelemahan yang paling kentara, assembly line tidak mementingkan hasil produksi dan tidak melakukan eliminasi di dalam proses tersebut ketika proses produksi berjalan.

Melompat pada tahun 1940-an, Toyota Production System (TPS), menciptakan sistem lean manufacturing yang berfokus pada pengurangan pemborosan atau waste yang terjadi saat proses produksi. Tujuannya jelas: hasil produksi yang efisien.

Eliminasi sengaja diciptakan pada proses-proses yang membuang waktu, tidak diperlukan, dan tidak penting. Proses yang tidak penting, dibuang — sampai menciptakan efisiensi sempurna. Lean memang hadir untuk berfokus output yang sangat baik.

Uniknya, Deep Blue dan lean manufacturing, memiliki kemiripan. Mereka sama-sama mengadopsi sistem eliminasi terhadap “proses” yang tidak diperlukan, kedua sistem ini menciptakan keputusan atau output sebaik-baiknya.

Jika cara kerja mesin dan saraf otak manusia tidak bisa disetarakan, kenapa kita tidak mencoba belajar dari sistem eliminasi yang sama? Pengurangan terhadap apa yang tidak perlu. Toyota menyebutnya, waste.

Belajar dari dasar: Eisenhower Matrix

Seorang Jenderal Perang Dunia II sekaligus mantan Presiden Amerika, Dwight Eisenhower, memperkenalkan sistem manajemen waktu yang kelak digunakan para profesional kerja di seluruh dunia.

Framework tersebut dinamai “Urgent-Important Matrix” atau dikenal dengan “Eisenhower Matrix”. Alat ini dirancang bagaimana dalam memprioritaskan tugas. Cara kerjanya, lakukan prioritas terhadap empat kuadran berdasarkan dua kriteria utama: urgensi dan kepentingan. Eliminasi hal-hal yang tidak penting.

Source: Asana.com

Untuk mengalahkan ego, menaikkan produktivitas: Fokuskan diri pada Important and Urgent. Dan Delete yang sekiranya tidak penting dan tidak perlu dilakukan.

Kumpulkan semua waste dan buang. Kumpulkan waste, buang lagi.

Kerangka ini akan menciptakan sirkular yang efektif dan kita akan membuang jauh-jauh hal-hal yang tidak penting. Lakukan dalam hal pekerjaan dan profesional. Yang menjadi tanya: Kenapa kita seringkali terjebak melakukan hal-hal yang tidak penting?

Tidak ada kata terlambat untuk belajar, meski dari hal-hal dasar.

“The key is not to prioritize what’s on your schedule, but to schedule your priorities.” — Stephen Covey

--

--